Saturday, 19 January 2019

Makalah Tentang HADIST








WIRDAH                               (170301005)


A.    Pendahuluan
Kekhalifahan manusia di muka bumi memiliki tugas yang sangat penting sebagai pengganti atau pewaris untuk memelihara kelangsungan dan keseimbangan alam. Kehidupan manusia sebagai khalifah tentu saja dalam aplikasinya memiliki undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Manakala yang menjadi acuannya adalah al quran sebagai sumber utama dan hadits sebagai kedudukan setelahnya.
            Di dalam al quran telah mencakup semua aspek kehidupan hanya saja masih bersifat universal sehingga sangat dibutuhkan penjelasan sekaligus penyempurnaan akan eksistensinya. Oleh karena itu Allah mengutus Rasul terakhir sebagai penyempurnaan sekaligus penutup segala para ambiya yaitu Rasulullah SAW; dari Rasul inilah lahir yang namanya hadits yang mana kedudukan dan fungsinya sangat penting sekali.
           
B.     Pengertian Hadits
Hadist merupakan mubayyin  (penjelas) bagi al quran yang karenanya, siapa pun tidak akan bisa memahami al quran tanpa dengan memahami dan menguasai hadist. Begitu pula menggunakan hadist tanpa al quran, akan kehilangan arah karena al quran merupakan dasar hukum  pertama yang didalamnya berisi garis-garis besar syariat islam. Dengan demikian antara al quran dan hadis memiliki hubungan timbal balik yang tidak dapat di pisahkan [1].

C.     Kedudukan Hadits
Jumhur ulama mengatakan bahwa hadits menempati urutan yang kedua    setelah al-quran. Untuk hal ini al-suyuthi dan al-qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Diantara argumentasi itu adalah sebagai berikut:
1.      Al-qur’an besifat qath’i al-wurud,sedangkan hadits bersifat zhanni al-wurud. Karena itu yang qath’i harus didalukan dari pada yang zhanni.
2.      Hadits berfungsi sebagai penjabaran al-qur’an. Ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan bekedudukan setingkat dibawah yang dijelaskan.
3.      Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan hadits setelah al-qur’an. Diantaranya dialog rasululllah dengan Mu’az bin jabal yang akan diutus ke negeri yaman sebagai qadli. Nabi bertanya: “dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’az menjawab: “dengan kitab Allah. Jika tidak ada nash nya, maka dengan sunnah Rasulullah dan jika tidak ada ketentuannya dalam sunnah, maka dengan berijtihad.”
4.      Al – qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta Allah swt; sedang hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusannya.[2]
5.      Yusuf qardhawi mengemukakan bahwa sunnah (hadits) merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi al-quran oleh sebab itu diharuskan mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum serta pengarahan yang diberikan oleh sunnah Rasulullah saw; menaati perintah Rasulullah adalah wajib sebagaimana menaati apa yang disampaikan oleh al-qur’an.[3]
Ada beberapa ayat al-qur’an dan hadits yang menyatakan banhwa al-sunnah sebagai sumber kedua setelah al-qur’an dalam ajaran islam.
Surat an-nisa ayat 59 menyatakan:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul –Nya dan ulul amri diantara kamu.”
Selanjutnya dalam haits nabi ditegaskan :
“ Aku tinggalakan untuk kalian dua perkara (pusaka), selama kalian berpegang kepada keduanya kalian tidak akan tesesat, kitabullah (al-qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud).
Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yanng menunjukkan banhwa kedudukan al-sunnah menempati posisi kedua setelah al-qur’an dalam tertib sumber hukum islam yang jelas, di dalam islam al-qur’an banyak ayat yang tidak dapat dijelaskan. Jika tidak ada penjelasan yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut maka yang bisa menjelaskan itu adalah Rasul.
Oleh karenanya, sering para sahabat sering menjumpai Rasulullah saw ; untuk meminta keterangan dan penjelasan yang diperlukan untuk memahami al-qur’an yang mujmal, muthlaq serta umum. Dalam arti bahwa al-qur’an banyak mengandung hukm-hukum yang bersifat kulli (menyeluruh) yang tekadang sulit dipahami dan dimengerti para sahabat. Dalam keadaan serupa itu Rasulullah saw; tampil menerangkan dan memberi penjelasan kepada mereka.[4]
D.     Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
1.      Berdasarkan dalil Al-qur’an
Banyak ayat Al-qur’an yang menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima segala sesuatu yang disampaika oleh Rasulullah saw; kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Selain memerintahkan umat islam agar percaya kepada rasulullah saw; Allah juga menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntunan taat dan patuh pada Rasulullah saw; ini,sama halnya dengan tuntunan taat dan patuh kepada Allah SWT.
Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat ali imran ayat 32 yang artinya :
“ katakanlah, taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka  sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Allah juga berfirman dalam surat An-Nur ayat 54 yang artinya:
“katakanlah, taatlah kepada Allah dan kepada Rasul, danjika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul saw; itu adalah apa yang dibebankan kepadanya dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-semata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT. dalam AL-qur’an selalu diiriingi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya.
2.      Dalil Hadits
      Dalam salah satu pesan Rasulullah saw;berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping  Al-qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya yang artinya:
“aku tinggalakan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.” (HR. Hakim)
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“wajib bagi kamu sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa Ar-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
Hadits-hadits tersebut, menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib sebagaimana berpegang teguh kepada Al-qur’an.
3.      Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Kesepakatan ummat muslimin dalam mempercayainya, menerimanya, mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadits telah dilakukan sejak masa rasulullah, sepeninggalan beliau, masa khulafa Ar-rasyidin hingga masa-masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya.
Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagi sumber hukum islam, antara lain:
a.       Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata:
“saya tidak meninggalakan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesunggunhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
b.      Pernah ditanya kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-qur’an. Ibnu Umar menjawab, “ Allah SWT. telah mengutus nabi Muhammad saw; kepada kita  dan kita tidak mengetahui sesuatu maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”
c.       Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata, “saya duduk sebangaimana duduknya Rasulullah saw; saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasululla saw.”
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah saw; selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan.


4.      Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan nabi Muhammad saw; telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Di dalam me ngemban misinya itu kadang kala beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT. baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau tetap berlaku sampai ada nash yang menaskhkan.[5]

E.     Fungsi Hadits Terhadap Al-qur’an
Menetapkan hukum yang terdapat didalam al-qur’an. Ini tidak berarti bahwa hadits atau sunnah itu menguatkan al-qur’an, namun menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat didalam al-qur’an dan juga didalam hadits itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim.[6]
Secara global, sunnah sejalan dengan al-qur’an, merinci pada ayat-ayat yang menjual, menjelaskan mubah, membatasi yang mutlak, mengkhusukan yaang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuannya, disamping membawa hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh al-qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Disinilah hadits menduduki dan menpati fungsinya sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan al-qur’an.
Sesuai dengan firman Allah (QS. An-nahl : 44)
“Dan kami turunkan padamu al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umaat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Penjelasan al-sunnah terhadap al-qur’an sebenarnya merupakan objek kajian ushul, yang dibicarkan secara luas dalam buku ushul fiqh. Ahmad bin Hambal, seperti dikutip oleh Munzier Suparta, ia mengemukakan bahwa fungsi hadits sebagai penjelas terhadap al-qur’an itu bermacam-macam. Ia (imam Hambal) menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayan Al-ta’kid, bayan Al-takhsis, bayan Al-tafsir, dan bayan Al-tasyri.
F.      Menetapkan dan Menentukan Suatu Hukum yang Tidak Terdapat di dalam Al-Qur’an
Kedudukan hadits dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur’an menunjukkan bahwa hadits merupakan sumber hukum islam. Karena dalam Al-qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada oarng-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah saw; serta mengacam orang yang menyelisinya.
Hukum yang merupakan produk hadits/sunnah yang tidak ditunjukkan oleh Al-qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah tentang haram memakai sutra dan emas bagi laki-laki, haram memakan burung yang berkuku tajam.     

G . Kesimpulan
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw; baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat. Hadits sebagai sumber hukum  kedua setelah Al-qur’an yang berkedudukan sebagai penjelas dari Al-qur’an dan fungsi hadits terhadap Al-qur’an sebagi penguat apa-apa yang ada didalam Al-qur’an yang masih bersifat global (umum).
DAFTAR PUSTAKA
Natah, abuddin, al-qur’an dan dan hadits,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1994)
Sahrani,Sohari,ulumul hadits,(Bogor:Ghalia Indonesia,2010)
Mudasir ,ilmu hadits,(bandung: pustaka setia,2005)






[1] Sohari sahrani,ulumul hadits,(Bogor:Ghalia Indonesia,2010)...33
[2] Abuddin natah, al-qur’an dan hadits,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1994)...171-172
[3] Sohari sahrani, ulumul ...33
[4] Abuddin natah, al-qur’an ... 172-174
[5] Mudasir ,ilmu hadits,(bandung: pustaka setia,2005)...66-74
[6]Abuddin natah, al-qur’an...175




Epistemologi









METODE EPISTIMOLOGI BARAT

MAKALAH
DIPRESENTASIKAN DALAM MATA  EPISTEMOLOGI ISLAM

OLEH:
KELOMPOK 1
ANISA AFIZA                      (170304047)
HAJJATUL FAJRINA        (170304018)
MOLIZA                               (170304002)
NOVI RIA RESTIANA       (170304024)
WIRDAH                               (170301005)





PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN 2019

A.      Pendahluan
Epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama disebut dengan realisme yang berpendapat bahwa pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.
Sementara itu, teori kedua yang disebut  dengan idealisme yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan teori realisme, pengetahuan menurut teori idealisme ini berarti tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya karena menurutnya pengetahuan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil.
Dalam konteks pemikiran, kebudayaan, dan peradaban, istilah barat (western) di bentuk melalui unsur-unsur Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Belakangan, kebudayaan dan peradaban Barat juga terdiri dari unsur-unsur gerakan pemikiran seperti humanisme, renaissance, gerakan pembaharuan protestan dan gerakan-gerakan pemikiran abad pencerahan. Namun pada tataran kajian epistemologi, fondasi tempat berdirinya epistimologi Barat adalah pemikiran filosifis Rene Descartes dengan pemikiran rasionalismenya.
B.       Epistemologi
Dalam dictionary of philosophy, Dagorbert D. Runes menulis asal kata epistemologi dari kata episteme ditambah logos, theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemologi sebagai berikut: “epistemologi sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas, ilmu pengetuahuan”. Selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah Agama, memberi arti epistemologi: episteme berarti pengetahuan dan epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan[1].         
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi di kenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering di kaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi). Demikian halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasa tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan.

C.      Metode Epistemologi Barat
Terkait masalah epistemologi Barat menganggap kebenaran itu hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menetukan kebenaran[2].  Oleh karena itu ilmuan Barat mengenal beberapa metode yang terkait dengan epistemologi, yaitu:
1.        Skeptisisme
Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Menurut paham ini, tidak mungkin mencapai pengetahuan selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu, jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya[3].


2.        Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal[4]. Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Dalam arti luas, setiap pandangan yang mengacu pada budi rohani sebagai sember pengetahuan atau prinsip yang menjelaskan kenyataan.
Rasionalisme juga berkaitan dengan manusia serta tujuannya. Metode mengatakan bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengetahuan, dan budilah yang memegang tampak pimpinan dalam bentuk “mengerti”[5]. Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam akal pikiran manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman bergantung pada prinsip ini. prinsip-prinsip ini dikenalkan oleh Rene descartes dengan istilah “substansi” yang tak lain adalah “ide bawaan” yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Sekalipun rasionalisme sangat menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme mengingkari peranan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan-bahan agar akal dapar bekerja[6].
·         Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia, serta mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
·         Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek dari pada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.[7]
3.        Empirisme 
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “empiria” yang berarti pengalaman. Empirisme adalah metode yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi atau pengindraan. Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Lock, George Berkeley, David Hume[8].
a.       Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
  1. Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:


·      Indra terbatas
Keterbatasan indra ini dapat melaporkan suatu objek tidak  sebagaimana adanya. Maka dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
·      Indera menipu
 Di misalkan pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya  pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
·      Objek yang menipu
 Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
·      Indera dan objek
 Karena apa yang ditangkap oleh indra tidak dapat menjelaskan secara sempurna atau menyeluruh bentuk objek tersebut.
4.        Anti Metafisika
 Metafisika bisa dibilang merupakan disiplin filsafat yang rumit, disiplin ini berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang perbedaan antara penampakan dan realitas sesungguhnya, antara opini dan pengetahuan. Tradisi metefisika juga disertai oleh reaksi-reasik anti metafisika. Reaksi anti metafisika pertama kali muncul dari murid cerdas plato, Aristoteles. Aristoteles menolak metafisika plato karena terlalu abstrak dan terlalu mengabaikaan realitas kongkrit. Aristoteles menolak metafisika plato yang universal, transendental dan ideal menggantinya dengan yang universal, kongkret dan indrawi.
Metafisika yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami.



D.      Kesimpulan
Epistimologi Barat memiliki pijakan dan akar yang bersumber pada pemikiran filsafat yang jauh dari sentuhan nilai-nilai keagamaan. Epistemologi Barat dalam tindakanya  dibatasi pada perolehan pengetahuan mengenai dunia yang tampak yaitu alam indrawi semata da tidak menyentuh pada alam-alam lain. Epistemologi Barat lebih menitikberatkan pada akal dan pancaindra sebagai sumber utama ilmu pengetahuan, dikotomisasi, antroposentrisme, penentangan atas dimensi spiritual, ketidakpastian tiada henti, sekulerisasi desaklarisasi dan empirisasi.
Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu, jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya.
Metafisika yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad tafsir, Filsafat Umum, Bandug: Pustaka Rosda, 1998.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.

Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam; Pengatar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Pers, 1983.
           
            Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005.
           
            Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011.



[1]Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam; Pengatar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI Pers, 1983), hal 2.
[2]Ahmad tafsir, Filsafat Umum, (Bandug: Pustaka Rosda, 1998), hal 24.
[3]Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011), hal 41.
[4]Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.
[5]Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005) hal, 52.
[6]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal 24.
[7]Http://id.wikipedia...
[8]Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, (jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal 103-106.