Saturday, 19 January 2019

Epistemologi









METODE EPISTIMOLOGI BARAT

MAKALAH
DIPRESENTASIKAN DALAM MATA  EPISTEMOLOGI ISLAM

OLEH:
KELOMPOK 1
ANISA AFIZA                      (170304047)
HAJJATUL FAJRINA        (170304018)
MOLIZA                               (170304002)
NOVI RIA RESTIANA       (170304024)
WIRDAH                               (170301005)





PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN 2019

A.      Pendahluan
Epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama disebut dengan realisme yang berpendapat bahwa pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.
Sementara itu, teori kedua yang disebut  dengan idealisme yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan teori realisme, pengetahuan menurut teori idealisme ini berarti tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya karena menurutnya pengetahuan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil.
Dalam konteks pemikiran, kebudayaan, dan peradaban, istilah barat (western) di bentuk melalui unsur-unsur Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Belakangan, kebudayaan dan peradaban Barat juga terdiri dari unsur-unsur gerakan pemikiran seperti humanisme, renaissance, gerakan pembaharuan protestan dan gerakan-gerakan pemikiran abad pencerahan. Namun pada tataran kajian epistemologi, fondasi tempat berdirinya epistimologi Barat adalah pemikiran filosifis Rene Descartes dengan pemikiran rasionalismenya.
B.       Epistemologi
Dalam dictionary of philosophy, Dagorbert D. Runes menulis asal kata epistemologi dari kata episteme ditambah logos, theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemologi sebagai berikut: “epistemologi sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas, ilmu pengetuahuan”. Selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah Agama, memberi arti epistemologi: episteme berarti pengetahuan dan epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan[1].         
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi di kenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering di kaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi). Demikian halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasa tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan.

C.      Metode Epistemologi Barat
Terkait masalah epistemologi Barat menganggap kebenaran itu hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menetukan kebenaran[2].  Oleh karena itu ilmuan Barat mengenal beberapa metode yang terkait dengan epistemologi, yaitu:
1.        Skeptisisme
Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Menurut paham ini, tidak mungkin mencapai pengetahuan selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu, jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya[3].


2.        Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal[4]. Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Dalam arti luas, setiap pandangan yang mengacu pada budi rohani sebagai sember pengetahuan atau prinsip yang menjelaskan kenyataan.
Rasionalisme juga berkaitan dengan manusia serta tujuannya. Metode mengatakan bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengetahuan, dan budilah yang memegang tampak pimpinan dalam bentuk “mengerti”[5]. Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam akal pikiran manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman bergantung pada prinsip ini. prinsip-prinsip ini dikenalkan oleh Rene descartes dengan istilah “substansi” yang tak lain adalah “ide bawaan” yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Sekalipun rasionalisme sangat menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme mengingkari peranan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan-bahan agar akal dapar bekerja[6].
·         Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia, serta mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
·         Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek dari pada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.[7]
3.        Empirisme 
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “empiria” yang berarti pengalaman. Empirisme adalah metode yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi atau pengindraan. Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Lock, George Berkeley, David Hume[8].
a.       Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
  1. Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:


·      Indra terbatas
Keterbatasan indra ini dapat melaporkan suatu objek tidak  sebagaimana adanya. Maka dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
·      Indera menipu
 Di misalkan pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya  pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
·      Objek yang menipu
 Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
·      Indera dan objek
 Karena apa yang ditangkap oleh indra tidak dapat menjelaskan secara sempurna atau menyeluruh bentuk objek tersebut.
4.        Anti Metafisika
 Metafisika bisa dibilang merupakan disiplin filsafat yang rumit, disiplin ini berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang perbedaan antara penampakan dan realitas sesungguhnya, antara opini dan pengetahuan. Tradisi metefisika juga disertai oleh reaksi-reasik anti metafisika. Reaksi anti metafisika pertama kali muncul dari murid cerdas plato, Aristoteles. Aristoteles menolak metafisika plato karena terlalu abstrak dan terlalu mengabaikaan realitas kongkrit. Aristoteles menolak metafisika plato yang universal, transendental dan ideal menggantinya dengan yang universal, kongkret dan indrawi.
Metafisika yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami.



D.      Kesimpulan
Epistimologi Barat memiliki pijakan dan akar yang bersumber pada pemikiran filsafat yang jauh dari sentuhan nilai-nilai keagamaan. Epistemologi Barat dalam tindakanya  dibatasi pada perolehan pengetahuan mengenai dunia yang tampak yaitu alam indrawi semata da tidak menyentuh pada alam-alam lain. Epistemologi Barat lebih menitikberatkan pada akal dan pancaindra sebagai sumber utama ilmu pengetahuan, dikotomisasi, antroposentrisme, penentangan atas dimensi spiritual, ketidakpastian tiada henti, sekulerisasi desaklarisasi dan empirisasi.
Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu, jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya.
Metafisika yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad tafsir, Filsafat Umum, Bandug: Pustaka Rosda, 1998.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.

Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam; Pengatar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Pers, 1983.
           
            Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005.
           
            Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011.



[1]Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam; Pengatar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI Pers, 1983), hal 2.
[2]Ahmad tafsir, Filsafat Umum, (Bandug: Pustaka Rosda, 1998), hal 24.
[3]Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011), hal 41.
[4]Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.
[5]Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005) hal, 52.
[6]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal 24.
[7]Http://id.wikipedia...
[8]Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, (jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal 103-106.

No comments:

Post a Comment