METODE EPISTIMOLOGI BARAT
MAKALAH
DIPRESENTASIKAN
DALAM MATA EPISTEMOLOGI ISLAM
OLEH:
KELOMPOK
1
ANISA
AFIZA (170304047)
HAJJATUL
FAJRINA (170304018)
MOLIZA
(170304002)
NOVI
RIA RESTIANA
(170304024)
WIRDAH (170301005)
PROGRAM STUDI
AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN 2019
A.
Pendahluan
Epistemologi
bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana
apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini
ada dua teori. Teori pertama disebut dengan realisme yang berpendapat bahwa
pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam
nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli
yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan
kenyataan.
Sementara
itu, teori kedua yang disebut dengan
idealisme yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat
atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan teori realisme,
pengetahuan menurut teori idealisme ini berarti tidak menggambarkan kebenaran
yang sebenarnya karena menurutnya pengetahuan sesuai dengan kenyataan adalah
mustahil.
Dalam
konteks pemikiran, kebudayaan, dan peradaban, istilah barat (western) di bentuk melalui unsur-unsur
Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Belakangan, kebudayaan dan peradaban Barat
juga terdiri dari unsur-unsur gerakan pemikiran seperti humanisme, renaissance, gerakan pembaharuan protestan dan
gerakan-gerakan pemikiran abad pencerahan. Namun pada tataran kajian
epistemologi, fondasi tempat berdirinya epistimologi Barat adalah pemikiran
filosifis Rene Descartes dengan pemikiran rasionalismenya.
B.
Epistemologi
Dalam
dictionary of philosophy, Dagorbert D. Runes menulis asal kata
epistemologi dari kata episteme
ditambah logos, theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemologi sebagai
berikut: “epistemologi sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang
keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas, ilmu pengetuahuan”.
Selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah Agama, memberi arti epistemologi: episteme berarti pengetahuan dan epistemologi ialah ilmu yang
membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan[1].
Dalam
pembahasan filsafat, epistemologi di kenal sebagai sub sistem dari filsafat,
yang sering di kaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Dengan gambaran sederhana
dapat dikatakan bahwa, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara
memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan
suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi). Demikian halnya, ketika kita
membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasa tentang upaya,
cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan.
C.
Metode Epistemologi Barat
Terkait
masalah epistemologi Barat menganggap kebenaran itu hanya berpusat pada manusia
sebagai makhluk mandiri yang menetukan kebenaran[2]. Oleh karena itu ilmuan Barat mengenal
beberapa metode yang terkait dengan epistemologi, yaitu:
1.
Skeptisisme
Skeptisisme
adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan,
mencurigakan). Menurut paham ini, tidak mungkin mencapai pengetahuan selain
berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas
selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna,
sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya.
Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan
pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu, jangan
meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya[3].
2.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang
mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan
dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah
dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan
itu logis atau tidak. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam
itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber
pada akal[4].
Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Dalam arti luas, setiap pandangan yang mengacu pada
budi rohani sebagai sember pengetahuan atau prinsip yang menjelaskan kenyataan.
Rasionalisme juga berkaitan dengan manusia serta
tujuannya. Metode mengatakan bahwa budi atau rasio
adalah sumber dan pangkal segala pengetahuan, dan budilah yang memegang tampak
pimpinan dalam bentuk “mengerti”[5].
Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dunia tertentu, yang diakui benar
oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam akal pikiran
manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman bergantung pada
prinsip ini. prinsip-prinsip ini dikenalkan oleh Rene descartes dengan istilah
“substansi” yang tak lain adalah “ide bawaan” yang sudah ada dalam jiwa sebagai
kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Sekalipun rasionalisme sangat menekankan
fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme mengingkari
peranan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang
kerja akal dan memberikan bahan-bahan agar akal dapar bekerja[6].
·
Kelebihan
Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang
rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik
untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan
dan menekankan akal budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua
manusia, serta mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari
manusia.
·
Kelemahan
rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik
kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru
dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem
filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung
mementingkan subjek dari pada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang
keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.[7]
3.
Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “empiria” yang berarti
pengalaman. Empirisme adalah metode yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi atau pengindraan. Empirisme memandang hanya
pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian
pengetahuan manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir
barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Lock, George Berkeley,
David Hume[8].
a.
Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di
lapangan.
- Kelemahan empirisme cukup
banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
· Indra terbatas
Keterbatasan indra ini dapat melaporkan suatu objek tidak sebagaimana adanya. Maka dari sini akan
terbentuk pengetahuan yang salah.
· Indera menipu
Di misalkan pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit, udara panas
dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
·
Objek yang menipu
Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi,
objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia
membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
·
Indera dan objek
Karena apa yang ditangkap oleh indra tidak
dapat menjelaskan secara sempurna atau menyeluruh bentuk objek tersebut.
4.
Anti Metafisika
Metafisika bisa dibilang merupakan disiplin
filsafat yang rumit, disiplin ini berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran
tentang perbedaan antara penampakan dan realitas sesungguhnya, antara opini dan
pengetahuan. Tradisi metefisika juga disertai oleh reaksi-reasik anti
metafisika. Reaksi anti metafisika pertama kali muncul dari murid cerdas plato,
Aristoteles. Aristoteles menolak metafisika plato karena terlalu abstrak dan
terlalu mengabaikaan realitas kongkrit. Aristoteles menolak metafisika plato yang
universal, transendental dan ideal menggantinya dengan yang universal, kongkret
dan indrawi.
Metafisika
yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia
mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total
terpahami.
D.
Kesimpulan
Epistimologi
Barat memiliki pijakan dan akar yang bersumber pada pemikiran filsafat yang
jauh dari sentuhan nilai-nilai keagamaan. Epistemologi Barat dalam
tindakanya dibatasi pada perolehan
pengetahuan mengenai dunia yang tampak yaitu alam indrawi semata da tidak
menyentuh pada alam-alam lain. Epistemologi Barat lebih menitikberatkan pada
akal dan pancaindra sebagai sumber utama ilmu pengetahuan, dikotomisasi,
antroposentrisme, penentangan atas dimensi spiritual, ketidakpastian tiada
henti, sekulerisasi desaklarisasi dan empirisasi.
Gejala
atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak
sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa
dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga
tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetauan yang sejati. Oleh sebab itu,
jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia melainkan meragukannya.
Metafisika
yunani kuno menghasilkan epistemologi yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia
mampu memahami realita sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total
terpahami.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
tafsir, Filsafat Umum, Bandug:
Pustaka Rosda, 1998.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.
Miska Muhammad
Amin, Epistimologi Islam; Pengatar
Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Pers, 1983.
Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Suparlan
Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat
Modern, Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Zainal Abidin, Pengantar
Filsafat Barat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011.
[1]Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam; Pengatar Filsafat
Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI Pers, 1983), hal 2.
[2]Ahmad tafsir, Filsafat Umum, (Bandug: Pustaka Rosda,
1998), hal 24.
[3]Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta Raja
Grafindo Persada, 2011), hal 41.
[4]Http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi.
[5]Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern,
(Yogyakarta: AR-RUZZ, 2005) hal, 52.
[6]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), hal 24.
[7]Http://id.wikipedia...
[8]Poedjawijatna, pembimbing ke arah filsafat, (jakarta:
Rineka Cipta, 1997), hal 103-106.
No comments:
Post a Comment